Kamis, 17 September 2009

Filosofi supermarket yang gagal diterapkan

Ada banyak supermarket di kota-kota yang pernah saya singgahi. Silahkan pilih mana yang suka disambangi untuk berbelanja. Antrian, apalagi di hari-hari ini, bisa panjang. Harga barang pas bandrol, gak main tawar.

Dalam lamunan barusan, saya membayangkan bagaimana jika seandainya pengunjung semua supermarket yang saya kenal itu nekat ngotot menawar harga barang di kasir. Tanpa peduli angka yang tertera di label harga. Berapa lama penundaan (delay) akibat proses bertele-tele itu, bahkan jika diasumsikan si petugas kasir akan selalu menjawab dengan "tidak bisa" pada semua pengunjung yang bertanya. Mulai chaos kan ?

Lalu lebih lanjut saya membayangkan kalau semua pengunjung itu gak mau antri. Mereka ngotot main serobot memaksa menawar harga...tambah kacau kan.

Untungnya sejauh ini lamunan saya hanya khayalan. Orang melayu (seandainya bukan WNI semua) yang saya lihat beberapa kali ke supermarket rela untuk tutup mulut tidak mencoba menawar harga. Paling benter juga ngomel soal harga-harga yang memang naik. Mereka juga rela antri...baris seperti bebek saja. Gak gengsi lagi. Padahal di saat mengantri ATM tidak sekali dua kali saya menemui orang tanpa malu menerobos antrian, tanpa mimik tergesa-gesa apalagi bersalah. Padahal yang bersangkutan turun dari mobil mewah, bukan seperti kami para pengantri yang mengendarai motor bebek.

Nah ini anehnya kenapa orang kota bisa tidak menawar peraturan (aturan harga dalam hal ini) dan bersedia mengantri di supermarket,....tapi tidak untuk hal yang lain ? Apa mungkin karena yang membuat peraturan (harga barang) juga tau diri dan tidak seenaknya ? Atau ada yang lain ?

Berapa sering kita mengalami urusan yang dipersulit, lebih dari yang semestinya ? Berapa sering orang harus tarik urat leher untuk hak normatifnya yang sebenarnya tidak susah untuk diberikan ? Berapa banyak urusan yang harus masuk wilayah "siapa lu, siapa gue" ? Kapan kita mulai berhenti menunda hak orang sampai kita dipukuli babak belur ?

Mudah2an ada angin kesadaran bersama betapa melelahkannya carut marut ini, sungguh menghabiskan energi yang harusnya bisa dipergunakan untuk hal lain. Mudah-mudahan akan datang masa kita sudah jarang lagi mendengar ungkapan kasar (tapi sayangnya sering benar), " Kalau gak digetok kepalanya ... ." Dan kita pun bergeser dari bangsa yang katanya ramah dan santun menjadi bangsa pengadopsi "homo homini lupus" , kasar, buas, brutal .... super preman !

Apa kita perlu mengorbankan para pedagang kecil dengan 'memasukkan' jaringan supermarket besar sampai ke tiap kecamatan hanya supaya orang belajar untuk membuat aturan yang logis, mentaati peraturan dan bersedia mengantri ?

Kesannya di Indonesia, sekarang ini, semakin orang mampu membuat peraturan yang semakin aneh .... tandanya ia benar-benar 'sakti'. Dan imbal baliknya hanya orang bodoh dan lemah saja yang taat terhadap aturan.

Hal begini selalu di anggap remeh, tidak dipedulikan, diacuhkan. Terutama bagi mereka yang berlum merasa terkena dampaknya sehari-hari. Mereka akan menyatakan hidupnya baik-baik saja, tidak perlu mengeeunakan waktu memikirkan hal yang seperti ini. Banyak orang lalu jadi permisif dan bahkan menganggap masalah ini tidak pernah ada. Lalu persis seperti bahaya bencana banjir dan kebakaran, jika sudah terjadi pada diri dan keluarga dekat mereka, baru kemudian bersuara, "ohhhh."

Bukankan kejahatan pidana terhadap harta dan nyawa, juga bahaya terorisme tumbuh subur di wilayah yang hukum dan aturannya tidak tegak berdiri ? Kita mengutuk tindakan terorisme yang sampai membawa korban jiwa, tapi anehnya kita "hobi" menambah koleksi orang-orang frustasi. Dan golongan orang frustasi yang paling berbahaya bisa jadi bukanlah golongan preman penjahat di terminal melainkan orang-orang yang sungguh-sungguh ingin hidup dengan benar. Mereka frustasi karena acuan kebenaran universal yang diyakini tidak bisa diterapkan. Lalu masuklah mereka dalam wilayah spiritual yang tentu saja mengandung kebeneran universal tersebut. Bedanya kali ini ada "bonus syurga" yang menanti untuk tidakan yang mereka rencanakan, selanjutnya anda sudah bisa tebak apa yang akan terjadi.

Anehnya, bukannya mulai bersama mengatasi masalah lokal, kita selalu meracau tak karuan soal kebrorokan negara kapitalis macam Amerika/Jerman/Inggris/Australia, dosa besar negara komunis macam China, atau belakangan tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia. Ahhh yang benar saja !

Aneh ... saya masih belum paham juga

2 komentar:

Akin mengatakan...

Sama...saya belum paham juga.
Jadi siapa yang sebaiknya memulai tuk membenahi masalah lokal ini, pemerintahkah? masyarakatkah?

sunu pradana mengatakan...

Ukh Akin, selamat berkunjung di blog.

Hehehe kalau dulu saya percaya harus dimulai dari diri sendiri saja. Kalau sekarang saya lebih percaya harus berimbang.

Ada bagian yang harus dimulai dari diri kita pribadi, ada juga bagian yang merupakan pembangunan kesadaran bersama.

Contoh gampapngnya, entah baik atau buruk, reformasi tidak akan pernah terjadi kalau selalu bertumpu pada pencontohan pribadi-pribadi semata. Harus ada kampanye kesadaran bersama, kolektif dan massive.

Untuk yang massive misalnya dimulai pada pilkada. Jangan dukung yang track record professionalnya jelas-jelas jelek. Hanya pandai membagi-bagi jatah, dan mengakomodasi kepentingan sebagian kecil anggota masyarakat.
IMHO.

Posting Komentar