Rabu, 30 September 2009

Masyarakat paguyuban dan patembayan

Tulisan berikut menarik karena menjelaskan tentang istilah paguyuban dan petembayan (patembayan). Saya copy di blog ini karena akses langsung ke artikel itu rusak, untung masih ada Google cached.

Radar Sulteng Online
Berita Opini (tautan ke artikel asli)
Sabtu, 18 Oktober 2003
Hidup Dan Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan Bernegara
Oleh Prof. Drs. H.Z. Mangitung *)

Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dengan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan (UU RI No. 39/1999 HAM).

Hidup artinya masih terus ada, bergerak dan bekerja karena dalam diri manusia ada nyawa atau jiwa ciptaan Tuhan (Homo Religius); Secara yuridis konstitusional menurut UUD 1945 pasal 28 A menyebutkan : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, jo KUH Perdata Pasal 1 menyebutkan 'Menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak kenegaraannya', ini berarti dalam diri manusia itu melekat terkait didalamnya "hak untuk hidup dan kehidupan serta kemanusiaan yang bersifat universal". Bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya telah dianggap lahir, bila mana kepentingan si anak itu menghendakinya, dan bila lahir mati dianggap tidak pernah ada di dunia (teori fiksi KUH Perdata pasal 2 dan 3), contohnya menyangkut pembagian warisan, dilarang melakukan aborsi atau menggugurkan janin dalam kandungan yang berarti suatu pembunuhan/pelanggaran HAM; Oleh karena itu saya lebih cenderung mengatakan makna Keluarga Berencana (KB) bukan sebagai pembatasan kelahiran (Birth Control) tetapi pembatasan kehamilan. Kehidupan itu sendiri berarti cara hidup manusia; Sebenarnya apa dan bagaimana arti cara hidup? Pertanyaan ini mengindikasikan bahwa manusia itu disamping sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial karena selalu terikat dengan orang lain, saling bergantung, mendukung dan bekerja sama yang saling menguntungkan (simbiose mutualistis, resiprokal, sosiologis). Sebagai makhluk individu, manusia sendiri terikat dengan kesendiriannya (secara psikologis). Persoalan manusia seperti ini sudah ada sejak manusia ada; Aristoteles menamakan Zoon Politikon artinya manusia adalah makhluk sosial secara kodrati, karena manusia itu selalu hidup bermasyarakat. Dalam hidup dan kehidupan itu manusia tidaklah wajar mementingkan dirinya sendiri tetapi seharusnya mencintai dirinya sendiri. Mementingkan diri sendiri berbeda dengan mencintai diri sendiri, karena mementingkan diri sendiri itu yang bernuansa egois, serakah/tamak.

Apakah masyarakat itu ? Ialah suatu bentuk kehidupan bersama, dimana tiap-tiap anggotanya bersatu karena pengakuannya sama terhadap nilai-nilai hidup tertentu. Umumnya suatu masyarakat menpunyai dua sifat yaitu masyarakat Paguyuban (Gemeinscharft) dan Petembayan (Gesellscharft); Masyarakat paguyuban itu terjadi karena hubungan pribadi antar anggota-anggotanya yang menimbulkan ikatan batin antar mereka, misalnya keluarga, perkumpulan agama, dll. Sedangkan masyarakat petembayan terjadi karena antara anggota-anggotanya terdapat hubungan pamrih, hubungan yang terutama ditujukan untuk memperoleh keuntungan kebendaan, misalnya perkumpulan dagang, PT, CV, koperasi, dll. Kedua sifat-sifat ini dimiliki oleh setiap masyarakat, mana yang lebih signifikan tergantung dari kasusnya dalam melaksanakan hidup dan kehidupan.

Apa yang dimaksudkan dengan bangsa (nation)? Ialah sejumlah orang-orang yang bersama-sama berkemauan untuk bersatu dalam satu susunan kenegaraan, karena didorong oleh bermacam-macam sebab yang sama, persamaan senasib, seperjuangan, persamaan sejarah, dll. Sebenarnya pengertian bangsa ini banyak ahli-ahli yang telah mengemukakan, misalnya Otto Bauer berpendapat bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persamaan nasib; Ernest Renan berpendapat adanya keinginan untuk hidup bersama atau bersatu, Sedangkan Karel Househoffer mengatakan pembentukan suatu bangsa bukan hanya faktor persamaan nasib atau faktor keinginan bersatu, tetapi yang paling penting adalah adanya batas-batas wilayah geopolitik yang jelas. Jadi untuk menjadi satu bangsa yang tangguh perlu adanya unsur-unsur perasaan/kemauan bersatu, unsur persamaan nasib dan perlunya ada wilayah tanah air yang menyatu dengan rakyatnya (perhatikan makna Sumpah Pemuda 1928).

Apakan negara itu ? Ialah suatu organisasi bangsa atau organisasi sosial politik yang bertujuan dengan kekuasaanya untuk mengatur dan mengurus hidup dan kehidupan bangsanya sebagaimana disebutkan didalam konstitusinya (baca UUD 1945); Negara seharusnya memiliki memiliki 3 syarat minimum (mutlak), yaitu:

a. Adanya rakyat yang merupakan satu bangsa

b. Adanya daerah teritorial yang tertentu

c. Adanya penyelenggara kekuasaan yang berdaulat kedalam maupun keluar; Kedalam artinya harus ditaati oleh rakyatnya, dan keluar artinya harus mampu mempertahankan NKRI agar tetap eksis bersama-sama dengan bangsa-bangsa beradab lainnya didunia tanpa diskriminasi.

Sebenarnya organisasi kekuasaan adalah negara itu sendiri. Menurut ahli ilmu politik Gaetano Mosca bahwa sifat dan bentuk suatu negara ditentukan oleh perhubungan politik antara mereka yang memerintah dengan mereka yang diperintah. Dalam hubungan dengan Indonesia maka bentuk dan sifat negara adalah merupakan negara kesatuan yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. (UUD 1945 Pasal 1). Sebagai negara yang demokratis dapat kita lihat bahwa infrastruktur politik di Indonesia terdiri dari multi partai, bukan partai tunggal atau single mayority ataupun rulling class sebagaimana pernah dipraktekkan dalam sejarah ketatanegaraan kita pada masa lalu. Di Indonesia saat ini kedaulatan dipegang oleh rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945 artinya mulai dari presiden sampai kepada lurah, hanyalah sekedar pemegang kekuasaan/kedaulatan negara dan sama sekali bukanlah pemilik kekuasaan/kedaulatan itu sendiri dalam rangka melaksanakan tujuan etis nasional dari NKRI yaitu melindungi/mempersatukan, menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena tiap-tiap bangsa didunia ini mempunyai harkat dan martabatnya sendiri, maka perlu ditegaskan bahwa kita "Cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan"(suatu harga mati bagi NKRI).

Kehidupan negara harus dibarengi dengan penegakkan supremasi hukum agar hidup dan kehidupan masyarakat bangsa dan negara selalu berada dalam tata tertib yang disesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan tata urutan perundang-undangan RI (TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan dan perundang-undangan). Disamping hal-hal tersebut diatas, perlu mempertimbangkan secara akademis tentang arti kebenaran secara khierarkis yaitu : Benar kata aku, benar kata kami, benar kata kita, dan benar kata hukum. Dalam konteks kehidupan bernegara maka kata hukumlah yang paling tinggi; Tetapi dalam hidup dan kehidupan ini, kadang-kadang justisia harus dikorbankan demi utilitas, dengan kata lain keadilan dikorbankan demi untuk kepentingan umum.

Sangat penting diperhatikan pula bahwa kondisi objektif bangsa Indonesia adalah masyarakat yang berwawasan Pluralistik /Bhinneka Tunggal Ika, yaitu hidup dan berkehidupan antar suku, agama, ras/etnis dan antar golongan(SARA); Oleh karena itu perlunya menjaga/memelihara semangat toleransi, terutama menyangkut Religious Literacy artinya kepedulian/kemelekan terhadap agama atau keagamaan orang lain, sambil menjaga tentang moral, etika dan akhlak masing-masing agama dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Karena NKRI ini adalah satu negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang pilar utamanya adalah kemandirian lokal maka perlu memperhatikan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, atau konvensi (perjanjian) sesuai dengan keadaan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai ke desa-desa yang mempunyai karakteristik tersendiri dalam ikatan NKRI. Disamping itu perlunya politik pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan kualitas SDM masyarakat lokal yang ada dari waktu ke waktu, sehingga pada gilirannya masyarakat lokal tidak lagi hanya menjadi objek tetapi berubah menjadi subjek pembangunan.

(Penulis adalah, Guru Besar Dalam Bidang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada Universitas Tadulako (Bidang Studi Jurusan Civics/Hukum), sebagai bahan diskusi interaktif pada TVRI Palu).


1 komentar:

noeparis mengatakan...

maen ng malemminggufc.blogspot.com oce !

Posting Komentar