Sabtu, 16 Oktober 2010

Teori dan Praktik "Merebus Kodok"


Ada kisah fabel menarik yang diceritakan seorang sahabat, Teori Merebus Kodok. Menurut ref [2] dan [3], eksperimen ini sulit untuk selalu memberikan hasil yang sama pada tiap kodok (juga tentang kecepatan kenaikan suhu tiap percobaan). Sungguh pun demikian moral dari cerita ini tetap valid.

Ceritanya konon, kalau kita menceburkan kodok/katak ke dalam air yang mendidih maka kodok itu akan langsung loncat (misalnya keluar dari dalam panci). Tetapi kalau kodok tersebut dimasukkan ke dalam air dingin yang kemudian [sangat] perlahan dipanaskan maka kodok itu tidak akan merasakan adanya bahaya dan akan terebus sampai mati.

Penerapannya pada kehidupan manusia adalah bahwa manusia seringkali tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan yang signifikan tetapi terjadi secara berpahap atau pelan-pelan (gradual). Sayangnya teori ini bisa dipraktikan untuk hal-hal yang secara moral umum salah dan merugikan.

Misalnya kalau aliran listrik dimatikan total selamanya maka bisa jadi akan timbul kerusuhan masal. Tapi kalau dilakukan bertahap maka reaksinya bisa jadi berbeda. Umpamanya sebulan sekali, lalu dua minggu sekali, lalu seminggu sekali ... dst. Tunggu dan biarkan orang terbiasa, menerima dan pasrah dalam satu keadaan sebelum mengubahnya menjadi keadaan yang lebih buruk.

Orang zaman dulu suka mengatakan,"diberi hati minta jantung" kalau sekarang lain lagi :-). Injak dulu kakinya, biarkan ia terbiasa baru injak kepalanya. Sadis memang, tapi bisa dibuktikan di laboratorium hidup sehari-hari. Itulah sebabnya cara-cara lama yang mengandalkan akal sehat, kesantunan dan tepo seliro dari orang lain tampaknya sudah mulai hilang. Sudah tumpul kepedualiannya kecuali pada kepentingannya sendiri. Begitu tersenggol langsung bacok, supaya orang lain itu tidak berani menabrak di lain hari...sedihnya. Sungguh sedih tapi tampaknya itu cara untuk bisa survive di sini.

Kamar saya yang tidak bisa dibilang rapi itu sudah menjadi bagian dari hidup :-). Maka bila suatu waktu konsentrasi saya tidak ada untuk membersihkannya, orang akan melihatnya seperti kapal pecah sedangkan saya masih merasa biasa saja.

Kalau resistensi terhadap hal-hal dalam hidup seperti aliran listrik mulai sering padam, aliran air mulai ngadat, penegak hukum dan penguasa mulai zalim sudah hilang, maka jangan terkejut kalau akhirnya akan terbiasa. Bahkan ketika keadaan menjadi sangat buruk, kelumpuhan itu tidak akan gampang terobati.
Kemerdekaan sampai reformasi itu tidak lahir dari penerimaan terhadap keadaan dan pembiaran.

Dari Wikipedia cerita dalam bahasa aslinyanya seperti ini:
The boiling frog story is a widespread anecdote describing a frog slowly being boiled alive. The premise is that if a frog is placed in boiling water, it will jump out, but if it is placed in cold water that is slowly heated, it will not perceive the danger and will be cooked to death. The story is often used as a metaphor for the inability of people to react to significant changes that occur gradually.

Ref:
[1] http://budihartono.wordpress.com/2008/06/25/katak/
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Boiling_frog
[3] http://www.snopes.com/critters/wild/frogboil.asp
[4] http://www.lewrockwell.com/yates/yates38.html
[5] http://glasshouse.waggeneredstrom.com/blogs/frankshaw/archive/2007/10/21/boiling-frogs.aspx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar