Cerita ini pernah saya dengar dulu waktu kuliah di Malang dari alm pak Soetikno. Mengapa kita "gak punya" industri mikroelektronika (misal pembuatan IC) setangguh Malaysia. Alasannya sederhana, karena industri itu tidak padat karya, sehingga akibatnya singkat cerita ditolak...lalu mereka angkat kaki...ke .... Malaysia.
Hari ini saya dengar cerita itu kembali, karena penasaran dengan kebenarannya saya coba cari-cari cerita lama ini. Sudah basi sebenarnya tapi cukup buat pelajaran. Berikut tautan-tautan dan kutipannya:
1.
Kemanakah mereka nantihttp://hazimahmadi.wordpress.com/2009/04/20/kemanakah-mereka-nanti/
...Hal ini terjadi karena di Indonesia belum ada industri chip. Dulu pernah ada, tapi karena bukan pabrik yang padat karya, akhirnya (diusir) pindah ke Malaysia. ...
2.http://www.mail-archive.com/teknologia@googlegroups.com/msg10052.html
Q1> kalau begitu ini tidak ada bedanya dengan kenyataan dimana pada 1970
Pak Samaun ingin membuat industri semi melalui fairchild tapi ditolak
dengan alasan "padat karya" ?
Q2> Waktu itu ceritanya National Semiconductor sudah punya pabriknya
(di Bandung). Jadi sudah ada. Hanya, waktu itu mereka mau meningkatkan
dengan memasang robot/mesin. Karena ketakutan digantikan mesin,
maka usulan mereka ditolang. Akhirnya perusahaan minggat sekalian
ke Malaysia :)
3.
Fairchild Membuat Si 'Kaki Ringan' Kerasanhttp://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/01/29/EB/mbm.20010129.EB77266.id.html
... TIDAK mudah menjadi tuan rumah yang baik bagi para investor asing. Dan lebih sulit lagi menciptakan surga investasi sehingga si "kaki ringan" (footloose industry) enggan beranjak pergi. Tantangan semacam ini semestinya sudah terlihat ketika PT Fairchild Semiconductor Indonesia?PMA dari Amerika Serikat yang bergerak di bidang semikonduktor?Juli 1986, menutup pabriknya di sini dan pindah ke Malaysia ...
... Mengapa Fairchild angkat kaki, padahal waktu itu gerakan kaum buruh sangat "tertata rapi"? Ternyata perusahaan AS ini merasa tak nyaman karena pemerintah Indonesia menolak rencana pengurangan pegawai. Waktu itu, Menteri Tenaga Kerja Sudomo berdalih, Fairchild adalah perusahaan padat karya sehingga tidak boleh memecat buruhnya dengan alasan menggunakan robot. Di pihak lain, Fairchild beranggapan sudah saatnya menerapkan padat teknologi. Akhirnya, benturan antara pemerintah RI dan Fairchild tak terelakkan lagi, sampai perusahaan itu hengkang dari Indonesia. ...
... Kasus Fairchild saja sudah membuat Indonesia gigit jari. Di Malaysia, pabrik pembuat komponen komputer, televisi, dan radio ini kini menjadi tulang punggung ekspor elektronik. Di Malaysia, industri semikonduktor ini berkembang pesat dan menyundul industri elektronik lainnya seperti komputer dan elektronik berteknologi tinggi. Sukses pemulihan ekonomi di Korea juga banyak ditopang industri semikonduktor. "Ini kesalahan fatal yang tidak mau kita akui," kata Anton.
Memang, sudah waktunya pemerintah belajar dari negara tetangga seperti Malaysia, Korea, dan Singapura, yang berhasil membangun industri si "kaki ringan" di negaranya. Dengan upah buruh 13 kali lebih tinggi dibandingkan dengan upah yang diterima pekerja Indonesia, nilai ekspor produk elektronik Malaysia pada tahun 2000 bisa mencapai US$ 48,3 miliar, sementara Indonesia hanya US$ 3,7 miliar. Singapura bahkan bisa mengalirkan devisa ke pundi-pundinya sebesar US$ 68,1 miliar dan menggaji buruhnya 23 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. ...
4. Link2 karya Prof. Dr. Samaun Samadikun
http://www.docstoc.com/docs/20201123/PERKEMBANGAN-BIDANG-MIKROELEKTRONIKA-DAN-TANTANGANNYA-DALAM
http://125.160.17.21/speedyorari/view.php?file=library/library-ref-ind/ref-ind-3/application/pendidikan/buku-samaun-samadikun/karya_20.pdf