Pertama2 kita memiliki opini, tak berdaya untuk melaksanakan perbaikan, tanpa solusi ...
Lalu kita berkumpul, bergerombol, masih tanpa solusi ...
Akhirnya kita pun bernegara, hampir tanpa budaya mencari solusi ...
Bukankah sejarah telah mencatat kita telah terbiasa menindas para pemberi solusi ?
Bukankah Galileo tidak mati sebagai pencopet ?
Bukankah Inu Kencana dan Khairiansyah Salman cukup mengingatkan kita pada sesuatu ?
Yang kita syukuri akhirnya bukanlah akal dan hati yang masih Tuhan izinkan untuk berfungsi. Yang dapat kita gunakan sebaik-baiknya sebagai tanda syukur.
Yang kita syukuri akhirnya hanyalah tarikan nafas sebagai tanda masih hidup.
Lalu Tuhan membiarkan alam untuk merespon input dari manusia sesuai dengan program yang telah ditetapkannya, jauh masa sebelumnya.
Program yang sesungguhnya telah Tuhan izinkan kita, manusia, untuk mengetahui sebagian kecil algoritmanya, jauh masa sebelumnya.
Lalu kita menyalahkan takdir Tuhan untuk sesuatu yang telah Tuhan izinkan kita, manusia, mengetahui ilmunya.
Tidakkah para atheis itu lebih terbukti bersyukur dengan kemampuan yang dimilikinya, daripada orang-orang yang mengaku-aku beriman ?
Tidakkah dialectician lebih beriman, dengan memperhatikan tanda-tanda alam milik Tuhan ?
Lalu kita berkumpul, bergerombol, masih tanpa solusi ...
Akhirnya kita pun bernegara, hampir tanpa budaya mencari solusi ...
Bukankah sejarah telah mencatat kita telah terbiasa menindas para pemberi solusi ?
Bukankah Galileo tidak mati sebagai pencopet ?
Bukankah Inu Kencana dan Khairiansyah Salman cukup mengingatkan kita pada sesuatu ?
Yang kita syukuri akhirnya bukanlah akal dan hati yang masih Tuhan izinkan untuk berfungsi. Yang dapat kita gunakan sebaik-baiknya sebagai tanda syukur.
Yang kita syukuri akhirnya hanyalah tarikan nafas sebagai tanda masih hidup.
Lalu Tuhan membiarkan alam untuk merespon input dari manusia sesuai dengan program yang telah ditetapkannya, jauh masa sebelumnya.
Program yang sesungguhnya telah Tuhan izinkan kita, manusia, untuk mengetahui sebagian kecil algoritmanya, jauh masa sebelumnya.
Lalu kita menyalahkan takdir Tuhan untuk sesuatu yang telah Tuhan izinkan kita, manusia, mengetahui ilmunya.
Tidakkah para atheis itu lebih terbukti bersyukur dengan kemampuan yang dimilikinya, daripada orang-orang yang mengaku-aku beriman ?
Tidakkah dialectician lebih beriman, dengan memperhatikan tanda-tanda alam milik Tuhan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar