Rabu, 20/10/2010 14:45 WIB
Amplify’d from www.detiknews.com
Sembilan ratus tujuh puluh tiga tahun yang lalu di sebuah desa di Krian, Jawa Timur, sebuah prasasti didirikan. Prasasti berupa batu kali hitam ini berbicara tentang seorang pemimpin yang gelisah.
Pada waktu itu kehidupan memang sedang tidak mudah, banjir yang berkepanjangan di Bengawan Brantas menjebol tanggul-tanggul rakyat. Di mana-mana sawah rusak. Panen gagal dan kehidupan rakyat di hilir Bengawan Brantas begitu sengsara. Raja Airlangga, si pemimpin yang gelisah ini kemudian membuat tanggul besar didaerah waringin sapta, yang di kerjakan dengan giat bersama rakyatnya. Dalam situasi sulit ini pendapatan negara dari sektor pajak berkurang drastis, karena para petani yang merupakan penyumbang pajak sawahnya banyak yang rusak. Dan di sinilah rasa bangga dan cinta tanah air menemukan pembuktiannya. Raja Airlangga menerapkan kebijakan pengurangan pajak untuk daerah-daerah yang sering terkena be ncana, justru pada saat penerimaan pajak negara sedang turun. Ia ingin perekonomian rakyatnya segera pulih dan bangkit.
Negeri kita adalah negeri yang sangat kaya, namun karena sedikitnya pemimpin negeri yang berbangga (dalam definisi sikap) maka dengan mata telanjang di mana-mana kita bisa lihat orang hidup terlunta-lunta. Mungkin ada baiknya kita ingat pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: Bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan beberapa orang. Melihat bencana banjir yang tak kunjung usai, barangkali ada baiknya kita belajar tentang kearifan dari sebuah prasasti batu kali.
*) Fajar Subchan, Penulis, Anak Bangsa
See more at www.detiknews.com
See this Amp at http://amplify.com/u/ddsq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar