Rabu, 03 November 2010

Bencana, pamer dan unjuk gigi

Beberapa hari ini ramai di Twitter (tweets) maupun di beberapa media massa mengenai ketidaknyamanan akibat beberapa perusahaan dan partai politik "unjuk gigi" di daerah bencana. Bentuknya berupa pemasangan spanduk yang dinilai ramai, bahkan lebih ramai dari bantuannya sendiri. Sebagai rakyat yang tidak berafiliasi dengan partai atau perusahaan manapun saya merasa cukup netral untuk urun pendapat. Turut dalam semacam percakapan kerakyatan, dialog angkringan dengan kepala dingin.

Di satu sisi saya setuju sekali dengan banyak pendapat bahwa kadang unjuk simbol-simbol itu agak kelewatan. Perlu sedikit dikurangi agar para korban tidak merasa sedang dimanfaatkan. Agar tidak terkesan "para penyumbang" itu menangguk untung publikasi di atas penderitaan para pengungsi.


Di sisi lain saya juga  berusaha memposisikan diri dan mencoba melihat dari sudut pandang partai politik dan organisasi bisnis yang memberikan sumbangan itu. Di negara ini partai politik selalu menjadi sorotan, yang lebih banyak isi negatifnya dalam pemberitaan. Sebagian besar memang terbukti, bahkan di muka hukum, karena ulah mereka sendiri. Bahkan partai dianggap hanya bisa ngomong saja, termasuk anggota DPR. Padahal di manapun di muka bumi ini tugas utama anggota parlemen adalah untuk berbicara, bukan mencangkul tanah atau menyebar jaring penangkap ikan. Sekalipun memang kritik-kritik itu kadang ada benarnya, dalam pengertian bukan suara rakyat yang diwakilinya yang dikemukakan di berbagai kesempatan.

Singkat kata, partai politik akhirnya perlu menarik simpati rakyat, minimal untuk menunjukkan bahwa mereka tidak "hanya bisa bicara". Mereka turun langsung di lapangan, tempat di mana ada rakyat yang sedang kesusuahan. Sekalipun sebenarnya barangkali itu bukan tugas utama sebuah partai politik. Dan agar orang tahu bahwa mereka sedang ada di situ, atau pernah ada di situ, perlu ada tandanya. Dan tanda paling mudah untuk dilihat itu adalah bendera, umbul-umbul atau spanduk.

Partai politik dan pejabat publik di sebuah negara demokratis sedikit banyak adalah cerminan dari pemilihnya. Bahasa kasarnya , barangkali, jeleknya mereka itu adalah cerminan jeleknya kita. Memang tidak untuk dilindungi apalagi sampai dibela, tetapi kalau memang tidak sesuai dengan keinginan kita maka jadikanlah sebagai masukan berarti untuk pemilihan berikutnya nanti.

Orang-orang yang aktif di partai politik itu "menjual" apa yang laku "dibeli".  Mereka diajar untuk peka terhadap "selera pasar", agar partai mereka "laris manis". Kalau sebagian besar calon pemilih dianggap lebih peduli pada simpati & pencitraan daripada kinerja maka jangan merasa aneh kalau parpol lebih cenderung menggarap pencitraan dan sibuk menarik simpati lewat kegiatan parsial kemasyarakatan. 

Itu tentang parpol, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan (organisasi bisnis) ? Di negeri di mana orang-orang kaya begitu disoroti di tengah orang-orang miskin, maka kecemburuan sosial menjadi begitu tinggi. Bukan sekali dua perusahaan disorot karena dianggap tidak peduli terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Karena itulah banyak perusahaan yang merasa harus "pamer kepedulian", tidak lagi bisa beramal diam-diam. Akhirnya banyak perusahaan yang ikut masuk ke dalam alur kerja pencitraan seperti yang dialami oleh partai politik.

Laporan publik yang dilakukan dengan cara menggunakan atribut semacam bendera dan sticker adalah cara yang paling gampang untuk ditempuh oleh parpol dan perusahaan. Upaya ini masih dianggap efektif dan efisien, mudah ditangkap, mudah dicerna masyarakat luas dan mudah dilakukan. Jangan lupa banwa parpol dan perusahaan itu merespon keinginan (sebagian) publik. 

Tentang soal pamer tanda bahwa seseorang atau sekumpulan orang pernah berada di suatu tempat rasanya bukan hanya monopoli partai politik dan organisasi bisnis saja. Kalau berada di jalan raya maka lihatlah sekeliling, akan sangat mungkin ditemui tulisan yang cuma beberapa huruf di tembok atau pagar. Kalau sedang di lokasi wisata alam lihat di batu-batu dan pohon-pohon, jika beruntung kita bahkan bisa menemukan "prasasti cinta" di situ.

Sebagai pengimbang, bahan introspeksi, mari kita sebagai masyarakat mengkaji kembali motivasi diri kita masing-masing.  Supaya adil, mari kita ingat-ingat apa niat kita saat terlibat dalam berbagai upaya meringankan beban korban bencana. Niat dalam hati tidak bakal ada yang tahu memang, tapi niat dalam hati yang dipikirkan otak akan sedikit banyak tercermin dalam tindakan. Apakah kita menyumbang harta demi gengsi, agar diketahui banyak orang ? Apakah kita menyumbang sekedar untuk menarik simpati ? Apakah kita pergi ke tempat bencana sekedar untuk menjadi "turis", menonton fenomena langka ? Apa kita pergi ke daerah bencana demi kemanusiaan, demi solidaritas atau hanya ikut trend biar gaul biar serasa pejuang kemanusiaan, pahlawan masyarakat ? Apakah kita membantu korban demi meringankan beban hidup dan penderitaannya atau supaya kita tidak dikecam lingkungan sosial ? Apakah yang kita lakukan benar-benar demi para korban atau sebetulnya demi diri sendiri agar merasa menjadi orang baik dan mulia ? Apakah kita mendokumentasikan situasi pengungsian sebagai bagian dari profesi, untuk menarik simpati masyarakat banyak agar memberi bantuan kepada korban atau sekedar untuk kenang-kenangan ? Sungguhpun pertanyaan-pertanyaan ini sepertinya remeh, kadang mendapatkan jawabannya baru bisa diperoleh setelah "aksi" dilakukan. Jika tidak pernah kita periksa niat dan motivasi kita sendiri bagaimana mungkin kita berani menghakimi niat dan kerja pihak lain ?

Meringankan beban korban bencana ada banyak cara, sedikit banyak bergantung pada kesempatan dan kemampuan. Dengan bantuan teknologi dan jumlah pengguna hape (telepon selular) yang cukup tinggi kita bisa memberikan sumbangan melalui operator telepon. Caranya cukup sederhana, lewat pesan pendek alias sms. Setahu saya ada dua operator yang sudah memberikan fasilitas ini; *811# atau ketik DONASI lalu kirim ke 5000 (Telkomsel), ketik MERAPI atau ketik MENTAWAI dan kirim ke nomor 5000 atau ke nomor 2000 (XL).

Bagi yang ingin memberikan bantuan dana melalui transfer rekening bisa melihat informasi lengkapnya di situs PMI ( www.pmi.or.id ). Khusus untuk bencana Gunung Merapi bisa juga melalui Yayasan Combine Resource Institutiton, informasinya ada di portal http://merapi.combine.or.id/. Untuk yang mau menyumbang tenaga ke lokasi bencana Merapi juga bisa melihat informasi lengkapnya di situs yang sama. Oh ya yang sering terlupakan, bagi yang hendak menyumbang tenaga tidak harus selalu datang di titik lokasi bencana. Kadang tenaga juga dibutuhkan untuk mengurus bantuan di tempat lain, di posko misalnya. Tidak "keren" memang, tapi diperlukan. Demi kemanusiaan apa saja yang bisa dilakukan maka lakukanlah, ini bukan saatnya ajang pamer siapa yang lebih berjuang. Ibarat pasukan perang, perlu organisasi dan strategi yang baik. Bahkan dengan radio komunikasi (ht) atau tweet seseorang bisa beramal baik dalam situasi ini. Menyebar luaskan informasi yang relatif berasal langsung dari tangan pertama, sehingga kepanikan atau chaos yang tidak perlu (seperti "akibat" mendengar laporan salah satu reporter tv beberapa hari lalu) dapat dihindari.

Seringan-ringannya bantuan adalah dengan tidak memperburuk penderitaan para korban bencana. Saya sedih benar setelah mengetahui sendiri bagaimana situs http://merapi.bgl.esdm.go.id di-crack. Situs ini penting untuk menyebarluaskan informasi mengenai resiko/ancaman bencana. Kalau memang ada security hole di situs itu kan bisa diinformasikan ke adminya. Atau kalau mungkin dan mampu ya di-patch sendiri lah. Tak layak disaat orang-orang banyak yang susah begini ada yang pamer nama dengan menge-crack situs. Saya berharap itu dilakukan bukan oleh orang Indonesia, orang yang tidak tahu kalau sedang ada bencana. Gangguan serupa juga terjadi di jalur komunikasi radio, berkali-kali dilaporkan kanal komunikasi diganggu orang, ter-jammed. Terlalu ah.

Barangkali demi para korban bencana, pendekatan yang baik terhadap masalah atribut penyumbang ini adalah dengan solusi win-win, alias semua pihak untung. Para pemberi sumbangan, termasuk para relawan, bisa menunjukkan bahwa mereka peduli dan memberikan bantuan sesuai yang mereka bisa. Para korban bencana bisa terus memperoleh bantuan dalam berbagai bentuk dengan jumlah cukup tetapi dengan resiko luka hati sebagai akibat cara-cara pemberian bantuan atau rasa kesal yang minimal. Soal amal pahala dari keikhlasan tindakan, kadang lebih baik diserahkan kepada masing-masing penyumbang/relawan.

Sungguhpun tidak ada yang mengharapkannya, setelah Aceh, Wasior, Merapi dan Mentawai barangkali akan ada lagi bencana-bencana besar yang akan dilalui rakyat negeri ini. Dan barangkali hal-hal yang sama seperti ini akan terus berulang terjadi lagi. Trend masalah di negeri ini "kan" hampir selalu berulang, bukan hanya temanya saja tapi sampai pada detailnya. Semoga dengan dialog-dialog non-formal, termasuk yang menggunakan Internet maka "trend yang tidak menyenangkan" ini akan mulai bergeser. Sebab partai politik dan perusahaan (organisasi bisnis) selalu cenderung untuk peka terhadap opini publik, terutama opini publik yang kuat.

Bahan bacaan:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar