"Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu." — John F. Kennedy
Biasanya kalimat di atas menjadi semacam mantra yang diungkapkan oleh politisi atau sebagian orang lain yang sepaham dengan mereka. Yang jarang diungkapkan secara gamblang adalah bahwa Kennedy adalah presiden negara Amerika Serikat, yang dalam Amandemen Pertama dari UUD-nya menjamin kebebasan berbicara. Ini adalah negara yang rakyatnya boleh marah sejadi-jadinya kepada administration (administer VS pemerintah, versi bahasa kita) sepanjang kegiatannya tak melanggar hukum, gak pake acara sensi. Biasanya politisi, apalagi yang sedang berkuasa jarang mau mengungkapkan ini, untuk alasan yang sudah jelas.
Sebagaimana padi masih perlu tanah (atau media serupa) dan ikan cakalang masih perlu lautan, yang disebut kemajuan bangsa itu bersyarat. Ada perbaikan bibit tapi juga ada perbaikan media tumbuh kembang. Kalau cuma satu yang digeber disuruh baik ya gak bisa. Amal pahala akhirat dapat, tapi energi kerja untuk masyarakat sia-sia.
Di bawah ini ada tulisan menarik, contoh kasus dari sekian banyak kasus yang luput dari perhatian. Entah dimulai kapan, barangkali sebelum 2007, berlanjut 2008-2009-2010-2011 ... . Lalu mungkin kita akan marah-marah karena hasil temuannya "dicolong" Malaysia. Jadilah lagi sebutan Malingsia, mencuri harta yang disia-siakan pemilik sahnya. Menarik untuk dilihat apa "yang telah diberikan" ini akan segera luas diterapkan atau seperti biasa, terlalu banyak alasan yang akhirnya jadi tertawaan negara lain. Lalu ... menyalahkan yang sudah terlanjur apatis. Ini dia tulisan lengkapnya:
Wanita di antara katoda dan anoda
Pekan lalu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggelar seminar teknologi fuel cell yang didukung beberapa perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas serta agen tunggal pemegang merek (ATPM).
Fuel cell atau sel bahan bakar bukan hal yang baru karena sudah ditemukan ilmuwan Inggris, Francis Bacon, pada 1930. Secara sederhana, cara kerjanya mirip aki. Pada fuel cell terdapat dua lapis elektroda dan elektrolit (zat) yang akan membiarkan ion lewat, namun menahan elektron.
Pada anoda dialirkan H2 (hidrogen) kemudian logam platina (Pt) pada anoda bekerja sebagai katalis, ‘mengambil’ elektron dari atom hidrogen. Ion H+ yang terbentuk akan melewati elektrolit, sedangkan elektron tetap tertinggal di anoda.
Sementara itu, di katoda, oksigen dialirkan. Kemudian, ion H+ yang melewati elektrolit akan berikatan dengan oksigen menghasilkan air dengan bantuan platina yang terkandung pada katoda sebagai katalis.
Reaksi ini akan berlangsung jika ada elektron. Pada anoda, elektron tertinggal, sedang di katoda elektron dibutuhkan. Sehingga, jika anoda dan katoda dihubungkan, elektron akan mengalir. Limbah reaksi ini berupa air (H20) yang aman untuk langsung diteguk.
Sepintas sederhana, tapi untuk membuatnya butuh pengetahuan material mumpuni. Salah satunya adalah Eniya Listiani Dewi. Perempuan alumnus Departemen Kimia Terapan Universitas Waseda, Tokyo, yang mengepalai tim pengembangan fuel cell BPPT.
Dari tangannya lahir fuel cell dengan kandungan lokal 80% yang sudah mampu menghasilkan 20 Watt. Hingga akhir tahun ini dia menargetkan fuel cell ciptaannya bisa menghasilkan 50 Watt dengan ukuran makin kompak.
Sepintas memang masih jauh untuk berbicara soal produksi massal dari fuel cell itu. Misalnya untuk catu daya telepon genggam, komputer jinjing, apalagi mimpi memiliki mobil listrik dalam negeri secanggih mobil-mobil fuel cell luar negeri.
Namun, dari bisik-bisik tamu yang hadir, isi di dalam kotak sel bahan bakar itu sudah menerbitkan kekhawatiran dari negara lain. Sebab teknologi membran electrode assembly (MEA), yang merupakan kunci dalam proses konversi energi dari energi kimia menjadi energi listrik itu asli Indonesia dan sudah selangkah lebih maju dibandingkan teknologi negara lain.
Lebih murah
Kekhawatiran itu muncul sebab membran hidrokarbon bermaterial lokal itu itu dapat menurunkan biaya produksi hingga 85% dibandingkan membran komersial yang kini beredar di pasaran. Sekotak fuel cell ciptaan Eniya itu hanya berharga Rp25 juta.
“Kalau nanti bisa diproduksi secara massal, bisa ditekan hingga 80%-85% dari harga saat ini. Sekarang masih mahal tapi kita sudah menemukan sistemnya. Jadi bisa terus dipermurah,” tutur ibu empat anak ini.
Satu tantangan yang masih harus dicari solusi perempuan penerima grant dari Japan Society of Promotion of Science 2000-2003 ini adalah meningkatkan ketahanan membran polimer ciptaannya itu yang kini baru bisa dipakai seumur lampu pijar biasa atau 4.000 jam.
Menurut dia, mengetahui sistem jauh lebih penting daripada produksinya. Hal itu merujuk kasus sistem sel matahari (photovoltaic) yang sudah 25 tahun diterapkan di Tanah Air tapi tak dikuasai teknologinya. Hasilnya Indonesia hanya bisa terus menerus mengimpor.
Sayangnya, meski fuel cell berpotensi besar, pemerintah tak kunjung mengucurkan dana penelitian yang mencukupi. Dari dana ideal sebesar Rp50 miliar, tahun ini pemerintah hanya mengucurkan dana Rp1 miliar dan tahun depan Rp3 miliar.
Meski diberi modal seadanya dan cibiran peneliti BPPT lain, Eniyati tetap optimistis. Apalagi kini teknologi nano di Indonesia makin pesat sehingga perkakas fuel cell yang dihasilkannya bisa makin imut dan perkasa.
Menurut dia, pengembangan sel bahan bakar hidrogen dalam satu dekade ke depan sangat penting. Ini bisa dilihat dari keseriusan banyak industri otomotif dan generator yang makin terkonsentrasi pada teknologi ini.
Salah satu contohnya adalah perlombaan produsen kendaraan untuk mengaplikasikannya secara hibrid dengan mesin bakar atau bahkan 100% berbahan bakar hidrogen.
Eropa bahkan sudah berencana mengaplikasikannya untuk sarana transportasi massal mereka sementara Jepang pada kendaraan-kendaraan pribadi di perkotaan.
Malaysia pantas diberi tanda tebal. Jiran kita adalah satu negara Asean yang bernafsu mempercepat alih teknologi ini. Mereka bahkan sampai harus menggandeng raksasa Jerman Mercedes Benz yang melakukan riset dan penerapan fuel cell pada produk kendaraan masa depan mereka.
Meski kini Malaysia tertinggal namun Eniya mengingatkan semua pihak terkait kasus sel surya. Indonesia lebih dulu menggunakan tapi tertinggal dalam teknologi pembuatan. Hasilnya kini Malaysia sejajar dengan negara lain dan mengekspor sel matahari tersebut.
Rasanya kekhawatiran Eniya patut dicermati. Dulu Malaysia belajar perminyakan ke Indonesia, kini mereka mengekspornya pada mantan gurunya. Mereka juga tertinggal dalam urusan teknologi mobil, belakangan justru Proton yang melenggang di Tanah Air.
Bagaimana kemajuan rekayasa Indonesia? Setelah PT DI yang membuat Malaysia terperangah dipreteli, faktanya kini tinggal ‘teknologi’ pembantu rumah tangga murah saja yang masih bisa dibanggakan Indonesia pada Malaysia. Ironis!
*Bisnis Indonesia Edisi: 19/09/2007
sumber:http://aergot.wordpress.com/2008/07/05/eniya-listiani-dewi/
Posted by: algooth putranto on: July 5, 2008